In your orbit
Di satu waktu, aku berfikir bagaimana manusia menanggapi dan memberikan makna tersendiri akan hal dan kejadian yang menimpanya. Kita bisa punya barang yang sama dengan orang lain, sweater, buku, gelas, bahkan langit yang sama. Namun kita dapat memberikan semua hal tersebut dengan makna yang kita ciptakan masing-masing, penjagaan dan sentuhan yang kita berikan, membuatnya seakan bernyawa.
Memori seakan hidup bersama barang-barang yang kita miliki, yang kita genggam erat penuh kasih, kita melipat dan menyimpannya baik-baik karena jika suatu hari kita membukanya kenangan itu masih sama. Cerahnya matahari saat kita bertemu dengan teman baik kita, pemandangan para pemancing yang berjejer menunggu tangkapannya, wangi roti dan kopi yang membuat kita berhenti dan memutuskan untuk mampir ke café sebelah tram. Di waktu yang lain, kita melipat memori wanginya aroma hujan di malam hari seusai seharian beraktivitas di luar rumah.
We have each other, so don’t worry.
“Apakah kamu lihat pulpenku? -pulpen kesayanganku yang kubeli di Ankara bersama kedua temanku saat kami tak sengaja berkunjung ke toko buku-?” tanyaku ke teman rumahku
Beberapa barang kecil yang sebenarnya dapat kita beli lagi di toko sebrang rumah, tapi tidak bisa membeli kembali kenangannya.
Aku memutuskan segera menyimpan cangkir kesayanganku, yang kubeli sengaja agar aku dan temanku memiliki cangkir yang sama. A matches friend’s mug.
Journaling
Aku menyimpan (hampir) semua kenangan yang menurutku berharga, oleh karena itu aku terkadang menemukan kenangan di balik buku-buku lamaku. Bukan saja aromanya, aku seakan masuk kembali ke dalam lorong kenangan yang kuciptakan bersama hal tersebut. Misalnya, beberapa bulan lalu aku melakukan percobaan dimana tempat terbaik mengerjakan pekerjaanku. Di rumah? Perpustakaan? Café? Saat di café aku menemukan tiket bus yang sering kutumpangi selama aku berkuliah di Kairo. Tiket bus seharga 1.5 pound Mesir yang mungkin saat ini sudah berganti design dan ugroh yang sudah naik.
Dan sampai saat ini aku menyimpan semua kenangan yang menurutku harus kupeluk erat. Aku tak menemukan tiket bus dan kereta yang ku beli karena aku membelinya secara online, sebagai gantinya kusimpan struk pembelian makanan dan tiket masuk museum yang kuhabiskan bersama teman-temanku. Aku menyimpan tea bag yang diberikan abi di bus dalam perjalanan panjangku menuju teman-temanku. Aku menyimpan batu dari salah satu sungai di Bursa saat camping bersama teman baruku. Ah aku bahkan menyimpan price tag baju yang berhasil kubeli setelah beberapa bulan kupertimbangkan untuk membelinya atau tidak.
Buku jurnalku saat ini lebih mirip dengan scrap book karena terlalu banyak kenangan yang coba ku masukan ke dalamnya. Seakan kata-kata saja tidak cukup bagiku. Aku berniat mengunjungi booth foto yang dapat mencetak foto yang kuputuskan ingin kulihat dalam waktu yang lama dan berwujud nyata.
Sharing food
Apalagi yang membuat kita dekat dengan seseorang? Beberapa orang yang baru kukenal tahun ini, hampir separuhnya bertemu di meja makan. Di restoran yang staffnya ku kenal dekat dan bertukar canda, di restoran fast food karena hendak buru-buru karena kita hanya punya sedikit waktu, di rumah teman baik yang ibunya dengan rela memasakan makanan rumahan, ah home meal is the best. Di sudut dapur saat kami kebagian piket memasak untuk teman lainnya. Kegiatan memotong buah yang mirip pepaya namun sedikit lebih keras. Di bawah kaki gunung saat kami harus berhemat air dan kehabisan bahan makanan karena malamnya kami memilih party dibandingkan menyisakan makanan untuk esok hari.
Kita menggelar perasaan lapar berbarengan dengan senyuman karena makanan yang kami makan akan melahirkan kenangan bahkan keluarga baru.
Language
Our conversation laughter and quiet moment are precious.
Saat ini, aku sedang mencoba memahami quiet moment. Momen dimana diam pun terasa menyenangkan. Di saat kita saling mencoba menyusun kata-kata namun tak ingin terlihat memaksakan dan berakhir tak terucap karena kita menghindari pertanyaan yang menyudutkan satu sama lain, atau ketika letih sudah jelas terlihat dari wajah kita setelah seharian berjalan menyusuri tempat baru yang kita temukan di timeline Instagram.
Aku ingat bahasa yang kuucapkan kepada temanku dalam kelas, aku mencoba berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa ibunya, berharap kami bisa akrab dan ia lebih mudah mengerti apa yang hendak kusampaikan. Juga percakapan yang menggunakan bahasa yang bukan bahasanya dan bahasaku, di saat kami lost in translation kami mencoba menggerakan beberapa anggota tubuh agar saling memahami makna yang kami maksudkan. Kami berhati-hati mengucapkan karena kami takut salah pengucapan tapi kami tidak takut lawan bicara kami menertawakan karena kami sedang sama-sama belajar bahasa asing.
Bahasa bukan hanya yang terucap dari lisan saja. Kita menggunakan gerak-gerik sebagai bahasa pengantar bagaimana bersikap dan bermuamalah dengan orang lain.
Beberapa kalimat yang telah terucap bahkan belum bisa mewakili perasaan yang kita miliki terhadap sang lawan bicara, tapi tak apa. Beberapa percakapan tak memerlukan kalimat di dalamnya.
Aku masih menyimpan beberapa surat yang kuterima dari temanku, menurutku surat memiliki rahasia tersendiri antara orang tersebut, tinta serta kertas dan kalimat yang ia pilih. Love Letter, aku menyebutnya meskipun isinya bukan confessing tapi aku tetap merasa seperti diberi hal itu.
Music
Dan dalam setiap kesempatan yang kita habiskan bersama dengan teman baik, selalu ada lantunan music yang mengiringi. Lagu-lagu yang hanya terbaca di diri sendiri melalui earphone, lagu terbaru yang kini didengar semua orang hingga setiap sudut kota memutarnya, lagu lama yang kita dengar pada masanya namun ternyata liriknya masih kita hafal di luar kepala. Layaknya landscape memori, kita seakan kembali di spesifik waktu detik dimana lagu tersebut dinyalakan.
Lagu yang kita dengarkan bersama melalui sumber yang sama dalam perjalanan, lagu yang kita dengar di restoran atau pun toko, lagu wajib yang harus kita hafal dalam perayaan tertentu.
Terima kasih untuk memori yang begitu hidup dan nyata. Di waktu yang lain, semoga kita dipertemukan dengan jiwa dan kalbu yang seindah pemilik semesta, cakap dalam merapalkan doa agar kita bersama seterusnya.